Kamis, 06 Juni 2013

Penyebab Maraknya Korupsi di Indonesia



SEMARANG, suaramerdeka.com - Maraknya kasus korupsi di negara ini memang sudah tidak asing lagi terdengar di masyarakat, hal itu menyebabkan banyak yang angkat bicara, Dekan Fakultas Hukum Unissula Jawade Hafidz SH, MH menyebutkan dua penyebab maraknya kasus Korupsi yakni mental pejabat penyelenggara negara yang mudah menyelewengkan uang negara, juga  Rumusan Tentang korupsi yang tertera pada undang-undang nomor 31 tahun 1999 terlalu luas.

Itu menyebabkan maraknya kasus korupsi yang menimpa para pejabat penyelenggara negara. Hal itu diungkapkan saat ditemui Suaramerdeka.com pada Jum'at petang (08/02) di ruang kerjanya.

"Saya menilai kasus yang menimpa para pejabat penyelenggara negara lebih disebabkan karena dua hal, pertama memang mental pejabat negara yang mudah menyelewengkan uang negara, kedua kalimat tentang Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi itu terlalu luas, itulah yang menyebabkan korupsi diindonesia tambah marak" ungkapnya.

Jawade mencontohkan misalnya dalam bunyi pasal Tiga saja sudah mengandung Lima unsur yakni unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum, korporasi, merugikan keuangan negara, menguntungkan diri sendiri dan orang lain.

"Lima unsur tersebut bisa jadi, Sumbangan Pernikahan anak pejabat misalnya bisa disebut Gratifikasi dan dianggap tindak pidana korupsi" tandasnnya.

lebih lanjut Pria kandidat Doktor Ilmu Hukum Undip yang sedang menggarap tesis berjudul "Reformasi Birokrasi pengelolaan keuangan negara dalam mencegah tindak pidana korupsi" tersebut mengatakan, harus ada Evaluasi Rumusan tentang Korupsi dalam UU tersebut, juga perubahan Struktur pemerintahan yang dinilainya terlalu panjang.

"Menurut saya solusinya adalah harus ada evaluasi tentang rumusan korupsi di UU No.31 Tahun 1999 yang menyebutkan batasan batasan Korupsi dan juga perubahan struktur  pemerintahan  kita yang terlalu panjang, misalkan, distruktur Pemerintah kota saja ada Walikota kemudian Asisten lalu kepala bidang kebawah lagi kepala seksi kemudian kepala sub Seksi dan terakhir baru staff, ini memberi peluang untuk melakukan korupsi dan harus disederhanakan" tegasnya.

Sumber : 

Tugas Softskill 4



Konflik Sulu-Malaysia Ancam NKRI

Sejak 12 Februari 2013 pekan terakhir, konflik yang melibatkan para pengikut Kesultanan Sulu yang selama ini berdomisili di Filipina menggemparkan wilayah Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Pasalnya mereka bertekad merebut kembali wilayah Sabah yang menurut mereka merupakan tanah leluhur mereka.
Tidak terima dengan klaim yang akan dilakukan pengikut Kesultanan Sulu yang dipimpin Raja Muda Agbimuddin Kiram tersebut, pihak Malaysia langsung meradang. Mereka berusaha mengusir para pengikut Sultan Jamalul Kiram II tersebut agar segera keluar dari wilayah mereka, dimulai dengan upaya diplomasi hingga pertempuran yang mengakibatkan korban jiwa.
Hanya sayang, dalam minggu-minggu pertama, Malaysia seperti tidak serius merespon kedatangan sekitar 200 Prajurit Sulu tersebut. Buktinya mereka tidak mengirim utusan untuk melakukan diplomasi langsung ke pimpinan Prajurit Sulu yang bersenjata AK-47, M-16 dan pelontar mortir, mereka hanya berusaha mengepung kawasan Lahad Datu untuk menakut-nakuti. Padahal Sultan Jamalul Kiram II sudah berkomitmen mereka tidak meninggalkan Lahad Datu meski harus mati sekalipun.
Memasuki minggu keempat, kesabaran kedua belah pihak mulai habis, baik Prajurit Sultan Sulu maupun Militer Malaysia mungkin mulai lelah menunggu. Hingga kini sedikitnya 27 nyawa melayang akibat kontak senjata antara kedua belah pihak, 8 orang tewas dari prajurit Malaysia sementara sisanya Prajurit Sulu dan sebagian kecil warga Sabah.
Anehnya, pihak Malaysia terkesan menutup-nutupi apa yang terjadi di wilayah Sabah tersebut dengan mengatakan ini hanya gangguan keamanan dalam negeri. Padahal, Selasa (5/3/2013) mereka sudah menurunkan jet tempur dan kendaraan berat untuk mengusir paksa pasukan Sulu tersebut. Artinya kondisi mencekam sudah mulai dirasakan warga Sabah dan sekitarnya yang masuk kawasan Borneo tersebut.
Konflik berdarah yang dialami Negara Bagian Sabah Malaysia tersebut menarik perhatian kita yang ada di Indonesia terutama wilayah Kalimantan. Pasalnya konflik ini bisa meluas hingga ke Indonesia jika pemerintah Indonesia menganggap ini masalah Malaysia. Tentu tidak semudah itu, hanya jika dirunut hal tersebut bisa menjadi masuk akal.
Pada masa kejayaanya, Kesultanan Sulu sendiri meliputi wilayah Sabah hingga ke Kalimantan Utara. Berikut petikan dan wilkipedia yang menyatakan hal tersebut.
“Wilayah yang menjadi propinsi Kalimantan Utara merupakan bekas wilayah Kesultanan Bulungan dan Kerajaan Tidung. Kedua-duanya, yaitu negeri Kesultanan Bulungan dan negeri Kerajaan Tidung merupakan bekas daerah bagian milik dari negara Berau yang telah melepaskan diri, namun kemudian menjadi daerah perluasan pengaruh Kesultanan Sulu.

Namun Kerajaan Berau menurut Hikayat Banjar termasuk salah satu vazal atau negara bagian di dalam mandala negara Kesultanan Banjar sejak zaman dahulu kala, ketika Kesultanan Banjar masih bernama Kerajaan Negara Dipa (masa Hindu). Sampai tahun 1850, negeri Bulungan dan negeri Tidung masih diklaim sebagai negeri bawahan dalam mandala negara Kesultanan Sulu yang konon merupakan pemberian Kerajaan Brunei.

Namun dalam tahun 1853, negeri Bulungan dan negeri Tidung sudah dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda atau kembali menjadi bagian dari Berau. Walaupun belakangan negeri Bulungan dibawah kekuasaan Pangeran dari Brunei dan negeri Tidung dibawah kekuasaan menantu Raja Tidung yang merupakan Pangeran dari Sulu, namun kedua negeri tersebut masih tetap termasuk dalam mandala negara Berau.

Berdasarkan perjanjian antara negara Kesultanan Banjar dengan VOC Belanda yang dibuat pada tanggal 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826, maka secara hukum negara Kesultanan Banjar menjadi daerah protektorat VOC Belanda dan beberapa daerah bagian dan negara bagian yang diklaim sebagai bekas vazal Banjar diserahkan sebagai properti VOC Belanda, maka Kompeni Belanda membuat batas-batas wilayahnya di Borneo (Kalimantan) berdasarkan perjanjian tersebut yaitu wilayah paling barat adalah negara bagian Sintang, daerah bagian Lawai dan daerah bagian Jelai (bagian dari negara bagian Kotawaringin) sedangkan wilayah paling timur adalah negara bagian Berau.

Negara bagian Berau meliputi negeri kesultanan Gunung Tabur, negeri kesultanan Tanjung/Sambaliung, negeri kesultanan Bulungan & distrik Tidung alias mantan Kerajaan Tidung yang dihapuskan tahun 1916. Berdasarkan peta Hindia Belanda tahun 1878 saat itu menunjukkan posisi perbatasan jauh lebih ke utara dari perbatasan Kaltara-Sabah hari ini, karena mencakupi semua perkampungan suku Tidung yang ada di wilayah Tawau”.
Pada bagian lain catatan negara-negara Nusantara, membenarkan bahwa Kesultanan Sulu awalnya memang masuk dalam bagian Nusantara. Hanya saja kemudian mereka memecahkan diri yang artinya menjadi wilayah mandiri hingga akhirnya Sulu menyewakan wilayahnya kepada perusahaan Inggris.
“Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1450. Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga negeri Sabah.

Dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Sulu disebut Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.

Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan Arab, Karim ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian tahun 1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau[1] melanjutkan penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.

Sekitar tahun 1450, seorang Arab dari Johor yaitu Shari’ful Hashem Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Ia kemudian menikah dengan Paramisuli, putri Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakr melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada tahun 1457, ia memproklamirkan berdirinya Kesultanan Sulu dan memakai gelar “Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr”. Gelara “Paduka” adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan “Mahasari” bermaksud Yang Dipertuan.

Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei menganugerahkan Sabah Timur kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakkan di Brunei. Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan Pulau Palawan kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada Spanyol.”


Dengan fakta-fakta tersebut di atas, jelas memberikan petunjuk bahwa apa yang terjadi di Sabah hari ini bisa meluas hingga ke wilayah Indonesia khususnya wilayah yang masuk Kalimantan Utara. Tentu menjadi tugas pemerintah mengantisipasi agar hal yang tidak diinginkan tersebut terjadi.
Pada bagian lain, penulis menganggap ini sebagai bentuk kebangkitan wilayah-wilayah yang selama ini “dianaktirikan” oleh bangsanya masing-masing. Pasalnya Sabah selama ini juga terkenal dengan ketertinggalan pembangunanya. Kondisi serupa juga dialami oleh Kalimantan yang tertinggal secara pembangunan di Indonesia.
Hal ini mengisyarakatkan Indonesia mesti lebih gencar melakukan pemerataan pembangunan jika tidak ingin kondisi serupa terjadi di Nusantara. Meskipun sejarah Indonesia membuktikan, NKRI berdiri atas dasar rasa “Senasib Sepenanggungan” yang kemudian tertuang dalam Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap 28 Oktober. SEMOGA!!!!!!!!!!!!!!!!!

sumber :
http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/03/05/konflik-sulu-malaysia-ancam-nkri-534438.html

Tanggapan :
Menurut saya, agar daerah perbatasan tidak meninggal kan Indonesia upaya yang dilakukan pemerintah untuk daerah perbatasan adalah agar lebih meningkatkan sumber daya daerah tersebut, mulai dari segi pendidikan harus lebih ditingkatkan agar anak anak disana bisa lanjut sekolahdan mendapat pendidikan yang layak, dan sampai dari segi mata pencarian harus lebih ditingkatkan agar masyarakat disana tidak ada yang menganggur. Dengan cara itu masyarakat di daerah perbatasan akan merasa nyaman karena kebutuhan mereka bisa terjamin di negara ditempatinya sekarang, dan masyarakat disana pun tidak akan pindah ke negara lain atau melepas dari negara Indonesia.