Konflik
Sulu-Malaysia Ancam NKRI
Sejak 12 Februari 2013 pekan terakhir, konflik yang
melibatkan para pengikut Kesultanan Sulu yang selama ini berdomisili di
Filipina menggemparkan wilayah Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Pasalnya mereka
bertekad merebut kembali wilayah Sabah yang menurut mereka merupakan tanah
leluhur mereka.
Tidak terima dengan klaim yang akan dilakukan pengikut
Kesultanan Sulu yang dipimpin Raja Muda Agbimuddin Kiram tersebut, pihak
Malaysia langsung meradang. Mereka berusaha mengusir para pengikut Sultan
Jamalul Kiram II tersebut agar segera keluar dari wilayah mereka, dimulai
dengan upaya diplomasi hingga pertempuran yang mengakibatkan korban jiwa.
Hanya sayang, dalam minggu-minggu pertama, Malaysia seperti
tidak serius merespon kedatangan sekitar 200 Prajurit Sulu tersebut. Buktinya
mereka tidak mengirim utusan untuk melakukan diplomasi langsung ke pimpinan
Prajurit Sulu yang bersenjata AK-47, M-16 dan pelontar mortir, mereka hanya
berusaha mengepung kawasan Lahad Datu untuk menakut-nakuti. Padahal Sultan
Jamalul Kiram II sudah berkomitmen mereka tidak meninggalkan Lahad Datu meski harus
mati sekalipun.
Memasuki minggu keempat, kesabaran kedua belah pihak mulai
habis, baik Prajurit Sultan Sulu maupun Militer Malaysia mungkin mulai lelah
menunggu. Hingga kini sedikitnya 27 nyawa melayang akibat kontak senjata antara
kedua belah pihak, 8 orang tewas dari prajurit Malaysia sementara sisanya
Prajurit Sulu dan sebagian kecil warga Sabah.
Anehnya, pihak Malaysia terkesan menutup-nutupi apa yang
terjadi di wilayah Sabah tersebut dengan mengatakan ini hanya gangguan keamanan
dalam negeri. Padahal, Selasa (5/3/2013) mereka sudah menurunkan jet tempur dan
kendaraan berat untuk mengusir paksa pasukan Sulu tersebut. Artinya kondisi
mencekam sudah mulai dirasakan warga Sabah dan sekitarnya yang masuk kawasan
Borneo tersebut.
Konflik berdarah yang dialami Negara Bagian Sabah Malaysia
tersebut menarik perhatian kita yang ada di Indonesia terutama wilayah
Kalimantan. Pasalnya konflik ini bisa meluas hingga ke Indonesia jika
pemerintah Indonesia menganggap ini masalah Malaysia. Tentu tidak semudah itu,
hanya jika dirunut hal tersebut bisa menjadi masuk akal.
Pada masa kejayaanya, Kesultanan Sulu sendiri meliputi
wilayah Sabah hingga ke Kalimantan Utara. Berikut petikan dan wilkipedia yang
menyatakan hal tersebut.
“Wilayah yang menjadi propinsi Kalimantan Utara merupakan
bekas wilayah Kesultanan Bulungan dan Kerajaan Tidung. Kedua-duanya, yaitu
negeri Kesultanan Bulungan dan negeri Kerajaan Tidung merupakan bekas daerah
bagian milik dari negara Berau yang telah melepaskan diri, namun kemudian
menjadi daerah perluasan pengaruh Kesultanan Sulu.
Namun Kerajaan Berau menurut Hikayat Banjar termasuk salah
satu vazal atau negara bagian di dalam mandala negara Kesultanan Banjar sejak
zaman dahulu kala, ketika Kesultanan Banjar masih bernama Kerajaan Negara Dipa
(masa Hindu). Sampai tahun 1850, negeri Bulungan dan negeri Tidung masih
diklaim sebagai negeri bawahan dalam mandala negara Kesultanan Sulu yang konon
merupakan pemberian Kerajaan Brunei.
Namun dalam tahun 1853, negeri Bulungan dan negeri Tidung
sudah dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda atau kembali menjadi bagian dari
Berau. Walaupun belakangan negeri Bulungan dibawah kekuasaan Pangeran dari
Brunei dan negeri Tidung dibawah kekuasaan menantu Raja Tidung yang merupakan
Pangeran dari Sulu, namun kedua negeri tersebut masih tetap termasuk dalam
mandala negara Berau.
Berdasarkan perjanjian antara negara Kesultanan Banjar
dengan VOC Belanda yang dibuat pada tanggal 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826,
maka secara hukum negara Kesultanan Banjar menjadi daerah protektorat VOC
Belanda dan beberapa daerah bagian dan negara bagian yang diklaim sebagai bekas
vazal Banjar diserahkan sebagai properti VOC Belanda, maka Kompeni Belanda
membuat batas-batas wilayahnya di Borneo (Kalimantan) berdasarkan perjanjian
tersebut yaitu wilayah paling barat adalah negara bagian Sintang, daerah bagian
Lawai dan daerah bagian Jelai (bagian dari negara bagian Kotawaringin)
sedangkan wilayah paling timur adalah negara bagian Berau.
Negara bagian Berau meliputi negeri kesultanan Gunung Tabur,
negeri kesultanan Tanjung/Sambaliung, negeri kesultanan Bulungan & distrik
Tidung alias mantan Kerajaan Tidung yang dihapuskan tahun 1916. Berdasarkan
peta Hindia Belanda tahun 1878 saat itu menunjukkan posisi perbatasan jauh
lebih ke utara dari perbatasan Kaltara-Sabah hari ini, karena mencakupi semua
perkampungan suku Tidung yang ada di wilayah Tawau”.
Pada bagian lain catatan negara-negara Nusantara,
membenarkan bahwa Kesultanan Sulu awalnya memang masuk dalam bagian Nusantara.
Hanya saja kemudian mereka memecahkan diri yang artinya menjadi wilayah mandiri
hingga akhirnya Sulu menyewakan wilayahnya kepada perusahaan Inggris.
“Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang
pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kesultanan
ini didirikan pada tahun 1450. Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah
meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga negeri Sabah.
Dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Sulu disebut Solot,
salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu salah
satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di
Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.
Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan Arab, Karim
ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian tahun 1390, Raja
Bagindo yang berasal dari Minangkabau[1] melanjutkan penyebaran Islam di
wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah mengislamkan masyarakat
Sulu sampai ke Pulau Sibutu.
Sekitar tahun 1450, seorang Arab dari Johor yaitu Shari’ful
Hashem Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Ia kemudian menikah dengan Paramisuli, putri
Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu Bakr melanjutkan pengislaman
di wilayah ini. Pada tahun 1457, ia memproklamirkan berdirinya Kesultanan Sulu
dan memakai gelar “Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem Abu Bakr”.
Gelara “Paduka” adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan “Mahasari”
bermaksud Yang Dipertuan.
Pada tahun 1703, Kesultanan Brunei menganugerahkan Sabah
Timur kepada Kesultanan Sulu atas bantuan mereka menumpas pemberontakkan di
Brunei. Pada tahun yang sama, Kesultanan Sulu menganugerahkan Pulau Palawan
kepada Sultan Qudarat dari Kesultanan Maguindanao sebagai hadiah perkawinan
Sultan Qudarat dengan puteri Sulu dan juga sebagai hadiah persekutuan
Maguindanao dengan Sulu. Sultan Qudarat kemudian menyerahkan Palawan kepada
Spanyol.”
Dengan fakta-fakta tersebut di atas, jelas memberikan
petunjuk bahwa apa yang terjadi di Sabah hari ini bisa meluas hingga ke wilayah
Indonesia khususnya wilayah yang masuk Kalimantan Utara. Tentu menjadi tugas
pemerintah mengantisipasi agar hal yang tidak diinginkan tersebut terjadi.
Pada bagian lain, penulis menganggap ini sebagai bentuk
kebangkitan wilayah-wilayah yang selama ini “dianaktirikan” oleh bangsanya
masing-masing. Pasalnya Sabah selama ini juga terkenal dengan ketertinggalan
pembangunanya. Kondisi serupa juga dialami oleh Kalimantan yang tertinggal
secara pembangunan di Indonesia.
Tanggapan :
Menurut saya, agar daerah perbatasan tidak meninggal kan Indonesia
upaya yang dilakukan pemerintah untuk daerah perbatasan adalah agar lebih
meningkatkan sumber daya daerah tersebut, mulai dari segi pendidikan harus
lebih ditingkatkan agar anak anak disana bisa lanjut sekolahdan mendapat
pendidikan yang layak, dan sampai dari segi mata pencarian harus lebih
ditingkatkan agar masyarakat disana tidak ada yang menganggur. Dengan cara itu
masyarakat di daerah perbatasan akan merasa nyaman karena kebutuhan mereka bisa
terjamin di negara ditempatinya sekarang, dan masyarakat disana pun tidak akan
pindah ke negara lain atau melepas dari negara Indonesia.